Menahan Rindu Ramadhan di Kampung Halaman



Flashback Oktober 2019


Aku bergegas menghampiri suami di kamar yang berulang kali memanggilku. Tampak dua celengan boneka plastik berukuran besar telah terluka dan dikeluarkan isinya. Lipatan uang kertas berwarna merah, biru dan hijau berserakan di sisi ranjang.

"Sini, bantu tata dan hitung. Pisahkan masing-masing pecahan duit ini!" serunya saat melihatku berdiri di bibir pintu kamar.

Aku pun berjalan mendekat dan ikut duduk di sisi ranjang. Cekatan kami berdua menata dan menghitung uang hasil celengan tersebut. Tak disangka uang yang kami sisihkan sedikit demi sedikit dengan jangka waktu tiga tahun itu, terhitung delapan digit.

"Lumayan ...."

Desahku dalam hati sembari tersenyum menatap suami.

"Sebaiknya kita bayar uang ujian si kakak, Mi! Kita nitip uang di gurunya saja. Kalo lebih nanti pasti dikembalikan, kalo kurang ya, kita paling nambah sedikit," ujarnya.

"Iya, Bah. Lagian belum ada pengumuman berapa semua biaya ujian hingga perpisahan," sahutku.

Suamiku lantas pergi ke rumah sang guru dengan membawa segenggam uang lembaran berwarna merah.

Aku menyimpan uang sisa yang dibawa suami. Tak berapa lama, dia pun pulang.

"Udah beres, Mi. Bisa agak bernapas lega kalo uang ujian si kakak udah dibayar gini."

Aku mengangguk lantas menyodorkan uang sisa tadi yang ku simpan di bawah bantal.

Suamiku bergegas menghitung lagi uang itu. Lantas memberikan sebagian uang ke tanganku.

"Ini, Umi simpan baik-baik buat persediaan pulang kampung bersama si kakak, nanti pas puasa, pulangnya! Aku sama si adik gak usah ikut. Gak cukup ongkos untuk pulang ke kampung halaman Umi, jika harus berempat." Maklum, sekarang kami sekeluarga sudah hampir tiga tahun bermukim di kampung halaman suami.

Air mataku berembun sambil menatap wajahnya.

"Terima kasih, ya, Bah!" Aku meraih tangannya, kemudian dia mengelus pucuk kepalaku dengan lembut.

Suasana kampung halaman saat bulan ramadhan seketika menari-nari di pikiran. Ada rasa rindu yang begitu mendalam, terutama terhadap ayah. Orang tua satu-satunya yang kupunya setelah Ibu meninggal.

🌺🌺🌺

Akhir bulan Desember, hampir semua chanel televisi memberitakan sebuah virus mengerikan yang ditemukan di Wuhan, China.

Aku menonton berita seputar virus tersebut hingga perkembangannya hampir tiap hari melalui chanel televisi. Tak habis pikir, di China sendiri virus yang bernama covid-19 itu telah menelan banyak korban.

Semakin hari, penyebaran virus semakin tak terkendali. Negara-negara barat seperti Amerika, Italia pun ikut terkena sebaran virus tersebut dan menelan lebih banyak korban.

Bulan berganti. Sebuah chanel televisi memberitakan jika virus itu telah masuk ke Indonesia.

"Astaga! Warga Depok udah terpapar virus korona itu?" desisku sambil terus menonton berita yang disiarkan salah satu televisi swasta.

Tak berhenti di Depok, kampung halamanku di Solo pun telah terpapar virus tersebut. Sedih! Pikiran lantas berkecamuk mengingat Ayah dan juga saudara di sana.

Berita virus covid-19 nyatanya hampir menyebar di beberapa daerah di Indonesia. Social Distancing pun digalakkan pemerintah untuk menghambat penyebaran pandemi virus tersebut. Karena virus tersebut semakin meluas penyebarannya dan menelan banyak korban, akhirnya beberapa daerah melakukan lockdown secara mandiri.

Baru-baru ini, memasuki bulan ramadhan pemerintah Indonesia gencar memberlakukan PSBB serentak di beberapa wilayah.

Bagaimana denganku dan keluarga di kampung halaman suami, di pedalaman Pulau Bawean?

Sama. Pemerintah setempat berupaya untuk menekan laju penyebaran pandemi virus tersebut. Isolasi mandiri, pembentukan satgas covid-19 dan juga pengawasan lalu lalang manusia di pelabuhan penyeberangan.

Suami yang telah mempunyai rencana agar aku pulang sejenak, menumpahkan rindu kampung halaman, akhirnya pupus sudah. Padahal dua ramadhan tahun lalu aku tidak pulang.

"Umi yang sabar ya, nahan rindu! Lebih baik mematuhi aturan pemerintah untuk tidak mudik." Usai shalat tarawih berjamaah di rumah, suami menasihatiku dengan lembut.

Entah sampai kapan memendam bara rindu ini? Tiga kali ramadhan tidak pulang ke kampung halaman. Ayah, pusara Ibu, saudara dan suasana kampung halaman, aku rindu. Sungguh, aku rindu.

Aku hanya mampu berdoa, semoga badai virus ini segera berlalu. Jika tak bisa pulang ke kampung halaman adalah rencana Tuhan yang terbaik, pasrah dan menerima itu yang harus kulakukan.

Aku akan menahan rindu ini sembari menikmati puasa bulan ramadhan di kampung suami tercinta.

Semoga diriku masih diberikan umur yang berkah dan dunia kembali damai tanpa virus, agar kelak bisa mudik ke kampung halaman. Menumpahkan rindu belaian kasih Ayah, berdoa dan bersimpuh di pusara Ibu serta bercengkerama bersama dengan sanak saudara.


Selesai


Sumber: kaskus.co.id




 
Top